Google search

Wednesday, March 23, 2011

KEBAKARAN HUTAN

Oleh : Gagan Hangga Wijaya
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas dengan mengkonsumsi bahan bakar alam hutan misalnya serasah, humus, rumput, ranting-ranting, tiang, gulma, semak, dedaunan, serta pohon-pohon segar (Ismail, 2005). Proses kebakaran meliputi beberapa tahapan pembakaran, yaitu tahapan prapenyalaan, penyalaan, pembakaran, pemijaran dan fase terakhir (Ismail, 2005). Pada tahapan pra-penyalaan, bahan bakar mulai terpanaskan, terhidrasi (kering) dan mulai terjadi proses pyrolisasi yaitu terjadinya pelepasan uap air, karbondioksida, dan gas-gas yang mudah terbakar termasuk methana, methanol, dan hidrogen (Ismail, 2005). Oleh karena itu, banyaknya kadar air dalam suatu bahan bakar akan mempengaruhi kesempurnaan pembakaran itu sendiri.

Kadar air bahan bakar berpengaruh terhadap perilaku kebakaran terutama dalam hal kemudahan dari bahan bakar tersebut untuk menyala, kecepatan proses pembakaran, kecepatan penjalaran api, dan kemudahan usaha pemadaman kebakaran (Ismail, 2005). Bahan bakar yang lembab (kadar air tinggi) akan membutuhkan energi panas yang lebih banyak untuk melakukan pembakaran, karena energi panas tersebut digunakan untuk menguapkan uap air yang terkandung dalam bahan bakar tersebut (Aryanti, 2002). Bahan bakar sulit untuk terbakar oleh api apabila kadar air yang terkandung oleh bahan bakar melebihi 12 %. Faktor cuaca seperti curah hujan, kelembaban, dan suhu merupakan faktor iklim yang dapat mempengaruhinya (Ismail, 2005). Angin juga dapat mempengaruhi kekeringan suatu bahan bakar, sehingga dengan adanya angin bahan bakar yang awalnya sulit terbakar menjadi mudah untuk terbakar, namun pengaruh sesungguhnya adalah perubahan suhu bahan bakar dan perubahan kelembaban relatif dari udara sekeliling bahan bakar dalam suatu proses kebakaran hutan. Intensitas bahan bakar akan menurun pada waktu sore atau malam hari karena turunnya suhu dan meningkatnya kelembaban udara (Ismail, 2005). Kadar air bahan bakar mempunyai hubungan-hubungan yang kompleks dan berubah dari waktu ke waktu (Asril, 2002). Pada bahan bakar hidup, kadar air tajuk dan rantingranting kecil diatur oleh proses fisiologis (Asril, 2002). Dalam hal ini, besarnya perubahan kadar air sangat terkait erat dengan perubahan suhu harian dibanding fluktuasi kelembaban udara maupun kadar air tanah (Asril, 2002). Selama kekeringan yang berkepanjangan, kadar air tajuk dapat berkurang sangat banyak (Asril, 2002). Pada bahan bakar mati, kehilangan air berlangsung melalui tiga mekanisme dengan melibatkan proses fisika yang sangat berbeda (Asril, 2002).
Bahan bakar mati bersifat dapat menyerap air dari atmosfer sekitarnya (higroskopis) atau sebaliknya melepaskan kelengasan sampai terjadi kesetimbangan (Asril, 2002). Kadar air pada kondisi kesetimbangan ini disebut kadar air setimbang(equilibrium moisture content, EMC) (Asril, 2002). Besaran ini detentukan oleh suhu dan kelembaban relatif udara, serta oleh sifat-difat internal bahan bakar (Asril, 2002). Panas yang diserap oleh bahan bakar yang lembab mengurangi jumlah panas yang tersedia dari pembakaran dan mempercepat proses padamnya api (Ismail, 2005). Kadar air dalam bahan bakar diketahui sebagai faktor penting yang membatasi pembakaran membara (smoldering combustion) (Asril, 2002). Panas penguapannya yang tinggi (2,26 MJ/Kg) menjadi penyerap panas yang efektif untuk menghambat pembakaran (Asril, 2002).
Komposisi bahan bakar juga mempengaruhi intensitas kebakaran. Minyak dan resin dapat meningkatkan reaksi panas dan intensitas kebakaran sedangkan konsentrasi mineral dapat menurunkan flammabilitas (Aryanti, 2002). Kadar air maksimum yang masih memungkinkan bahan bakar terbakar menyala disebut kadar air pembatas (moisture of extinction) (Asril, 2002). Kadar air pembatas ini bergantung pada kimiawi bahan bakar dan kondisi bagaimana ia terpanaskan oleh pembakaran (Asril, 2002). Kadar air pembatas untuk tipe pembakaran membara bervariasi dari 110 % sampai lebih dari 135 %, yang berarti kurang lebih sama dengan kadar air pembatas pada bahan bakar hidup (Asril, 2002).
Hutan-hutan tropis basah yang belum ditebang (belum terganggu) umumnya benarbenar tahan terhadap kebakaran dan hanya akan terbakar setelah periode kemarau yang berkepanjangan. Sebaliknya, hutan-hutan yang telah dibalak, mengalami degradasi, dan ditumbuhi semak belukar, jauh lebih rentan terhadap kebakaran (FWI-GFW, 2009) Pohon-pohon mati dalam proses pembusukan adalah potensial untuk terbakar. Sebuah pohon mati terbakar dapat membahayakan pohon-pohon lain karena sebaran dan percikan apinya dapat menjangkau jarak yang jauh. Rumput adalah bahan bakar yang mudah berubah karena kondisi cuaca. Rumput cepat mengering dan akan menunjukkan tanda-tanda akan terbakar. Rumput kering dan mati sangat cepat tersulut dan akan terbakar dengan cepatnya, khususnya rerumputan yang tumbuh rapat. Kebakaran rumput akan membakar areal yang luas dan kita tak cukup waktu untuk memadamkannya jika tidak dikontrol sesegera mungkin. Angin dan kemiringan akan mempercepat penjalaran api. Namun demikian kebakaran rumput tidak terlalu panas, dan dalam tempo singkat sudah dingin. Bentuk kebakarannya mirip dengan kebakaran rumput, hanya biasanya lidah apinya lebih besar dan berasap lebih banyak. Semak-semak/perdu adalah bahan bakar yang mudah menyala dan tidak memakan waktu lama untuk terbakar secara luas.
Kebakaran pada hutan pinus dapat terjadi setiap saat, tidak terbatas pada musim kemarau. Hal ini disebabkan seluruh bagian pohon pinus mengandung getah yang mudah terbakar. Di samping itu serasah daun pinus cepat kering dan sulit melapuk sehingga menjadikannya bahan yang mudah terbakar. Kebakaran pada hutan pinus kemungkinan terjadi tiga jenis kebakaran yaitu : kebakaran bawah, kebakaran tajuk atau keduanya secara bersamaan.

DAFTAR PUSTAKA
Forest Watch Indonesia-Global Forest Watch [FWI-GFW]. 2009. Keadaan Hutan Indonesia [Laporan]. Bogor: Forest Watch Indonesia.
Ismail AY. 2005. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Potensi Kandungan Karbon pada Tanaman Acacia mangium Willd di Hutan Tanaman Industri [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Aryanti E. 2002. Karakteristik Kebakaran Limbah Vegetasi Hutan Rawa Gambut di Desa Pelalawan Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Asril. 2002. Potensi Kebakaran Hutan Berdasarkan Indeks Kekeringan, Bahan Bakar dan Praktek Pembakaran oleh Masyarakat [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

No comments: