Oleh : Gagan Hangga Wijaya
Kebakaran hutan didefinisikan
sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas dengan mengkonsumsi
bahan bakar alam hutan misalnya serasah, humus, rumput, ranting-ranting, tiang,
gulma, semak, dedaunan, serta pohon-pohon segar (Ismail, 2005). Proses
kebakaran meliputi beberapa tahapan pembakaran, yaitu tahapan prapenyalaan, penyalaan,
pembakaran, pemijaran dan fase terakhir (Ismail, 2005). Pada tahapan pra-penyalaan,
bahan bakar mulai terpanaskan, terhidrasi (kering) dan mulai terjadi proses pyrolisasi
yaitu terjadinya pelepasan uap air, karbondioksida, dan gas-gas yang mudah terbakar
termasuk methana, methanol, dan hidrogen (Ismail, 2005). Oleh karena itu, banyaknya
kadar air dalam suatu bahan bakar akan mempengaruhi kesempurnaan pembakaran itu
sendiri.
Kadar air bahan bakar
berpengaruh terhadap perilaku kebakaran terutama dalam hal kemudahan dari bahan
bakar tersebut untuk menyala, kecepatan proses pembakaran, kecepatan penjalaran
api, dan kemudahan usaha pemadaman kebakaran (Ismail, 2005). Bahan bakar yang
lembab (kadar air tinggi) akan membutuhkan energi panas yang lebih banyak untuk
melakukan pembakaran, karena energi panas tersebut digunakan untuk menguapkan
uap air yang terkandung dalam bahan bakar tersebut (Aryanti, 2002). Bahan bakar
sulit untuk terbakar oleh api apabila kadar air yang terkandung oleh bahan
bakar melebihi 12 %. Faktor cuaca seperti curah hujan, kelembaban, dan suhu
merupakan faktor iklim yang dapat mempengaruhinya (Ismail, 2005). Angin juga
dapat mempengaruhi kekeringan suatu bahan bakar, sehingga dengan adanya angin
bahan bakar yang awalnya sulit terbakar menjadi mudah untuk terbakar, namun pengaruh
sesungguhnya adalah perubahan suhu bahan bakar dan perubahan kelembaban relatif
dari udara sekeliling bahan bakar dalam suatu proses kebakaran hutan.
Intensitas bahan bakar akan menurun pada waktu sore atau malam hari karena
turunnya suhu dan meningkatnya kelembaban udara (Ismail, 2005). Kadar air bahan
bakar mempunyai hubungan-hubungan yang kompleks dan berubah dari waktu ke waktu
(Asril, 2002). Pada bahan bakar hidup, kadar air tajuk dan rantingranting kecil
diatur oleh proses fisiologis (Asril, 2002). Dalam hal ini, besarnya perubahan kadar
air sangat terkait erat dengan perubahan suhu harian dibanding fluktuasi
kelembaban udara maupun kadar air tanah (Asril, 2002). Selama kekeringan yang
berkepanjangan, kadar air tajuk dapat berkurang sangat banyak (Asril, 2002).
Pada bahan bakar mati, kehilangan air berlangsung melalui tiga mekanisme dengan
melibatkan proses fisika yang sangat berbeda (Asril, 2002).
Bahan bakar mati bersifat
dapat menyerap air dari atmosfer sekitarnya (higroskopis) atau sebaliknya
melepaskan kelengasan sampai terjadi kesetimbangan (Asril, 2002). Kadar air
pada kondisi kesetimbangan ini disebut kadar air setimbang(equilibrium moisture
content, EMC) (Asril, 2002). Besaran ini detentukan oleh suhu dan kelembaban
relatif udara, serta oleh sifat-difat internal bahan bakar (Asril, 2002). Panas
yang diserap oleh bahan bakar yang lembab mengurangi jumlah panas yang tersedia
dari pembakaran dan mempercepat proses padamnya api (Ismail, 2005). Kadar air dalam
bahan bakar diketahui sebagai faktor penting yang membatasi pembakaran membara (smoldering
combustion) (Asril, 2002). Panas penguapannya yang tinggi (2,26 MJ/Kg) menjadi
penyerap panas yang efektif untuk menghambat pembakaran (Asril, 2002).
Komposisi bahan bakar juga
mempengaruhi intensitas kebakaran. Minyak dan resin dapat meningkatkan reaksi
panas dan intensitas kebakaran sedangkan konsentrasi mineral dapat menurunkan
flammabilitas (Aryanti, 2002). Kadar air maksimum yang masih memungkinkan bahan
bakar terbakar menyala disebut kadar air pembatas (moisture of extinction)
(Asril, 2002). Kadar air pembatas ini bergantung pada kimiawi bahan bakar dan
kondisi bagaimana ia terpanaskan oleh pembakaran (Asril, 2002). Kadar air
pembatas untuk tipe pembakaran membara bervariasi dari 110 % sampai lebih dari
135 %, yang berarti kurang lebih sama dengan kadar air pembatas pada bahan
bakar hidup (Asril, 2002).
Hutan-hutan tropis basah yang
belum ditebang (belum terganggu) umumnya benarbenar tahan terhadap kebakaran
dan hanya akan terbakar setelah periode kemarau yang berkepanjangan.
Sebaliknya, hutan-hutan yang telah dibalak, mengalami degradasi, dan ditumbuhi
semak belukar, jauh lebih rentan terhadap kebakaran (FWI-GFW, 2009) Pohon-pohon
mati dalam proses pembusukan adalah potensial untuk terbakar. Sebuah pohon mati
terbakar dapat membahayakan pohon-pohon lain karena sebaran dan percikan apinya
dapat menjangkau jarak yang jauh. Rumput adalah bahan bakar yang mudah berubah karena
kondisi cuaca. Rumput cepat mengering dan akan menunjukkan tanda-tanda akan terbakar.
Rumput kering dan mati sangat cepat tersulut dan akan terbakar dengan cepatnya,
khususnya rerumputan yang tumbuh rapat. Kebakaran rumput akan membakar areal
yang luas dan kita tak cukup waktu untuk memadamkannya jika tidak dikontrol
sesegera mungkin. Angin dan kemiringan akan mempercepat penjalaran api. Namun
demikian kebakaran rumput tidak terlalu panas, dan dalam tempo singkat sudah
dingin. Bentuk kebakarannya mirip dengan kebakaran rumput, hanya biasanya lidah
apinya lebih besar dan berasap lebih banyak. Semak-semak/perdu adalah bahan
bakar yang mudah menyala dan tidak memakan waktu lama untuk terbakar secara
luas.
Kebakaran pada hutan pinus
dapat terjadi setiap saat, tidak terbatas pada musim kemarau. Hal ini
disebabkan seluruh bagian pohon pinus mengandung getah yang mudah terbakar. Di
samping itu serasah daun pinus cepat kering dan sulit melapuk sehingga menjadikannya
bahan yang mudah terbakar. Kebakaran pada hutan pinus kemungkinan terjadi tiga
jenis kebakaran yaitu : kebakaran bawah, kebakaran tajuk atau keduanya secara bersamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Forest
Watch Indonesia-Global Forest Watch [FWI-GFW]. 2009. Keadaan Hutan Indonesia [Laporan].
Bogor: Forest Watch Indonesia.
Ismail
AY. 2005. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Potensi Kandungan Karbon pada Tanaman
Acacia mangium Willd di Hutan Tanaman Industri [Tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Aryanti
E. 2002. Karakteristik Kebakaran Limbah Vegetasi Hutan Rawa Gambut di Desa Pelalawan
Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Asril.
2002. Potensi Kebakaran Hutan Berdasarkan Indeks Kekeringan, Bahan Bakar dan Praktek
Pembakaran oleh Masyarakat [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
No comments:
Post a Comment