Google search

Monday, January 9, 2012

PRESERVASI GENETIK SUMBERDAYA ALAM HAYATI (DENGAN TEKNIK KRIOPRESERVASI) SEBAGAI SALAH SATU USAHA KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI

Gagan H Wijaya
Ayu W Marharina
Pengertian Keanekaragaman Hayati
Definisi keanekaragaman hayati adalah: keanekaragaman makhluk hidup dan hal-hal yang berhubungan dengan ekologinya, dimana makhluk hidup tersebut terdapat. Keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkatan yaitu:  

1.  Keanekaragaman genetik, merupakan keanekaragaman yang paling hakiki, karena keanekaragaman ini dapat berlanjut dan bersifat ditunkan. Keanekaragaman genetik ioni berhubungan dengan keistimewaan ekologi dan proses evolusi.
2.  Keanekareagaman jenis, meliputi flora dan fauna. Beraneka ragam jenis memiliki perilaku, strategi hidup, bentuk, rantai makanan, ruang dan juga ketergantungan antara jenis satu dengan yang lainnya. Adanya keanekaragaman yang tinggi akan menghasilkan kestabilan lingkungan yang mantap.
3.  Keanekaragaman Ekosistem, tercakup didalamnya genetic, jenis beserta lingkungannya. Keanekaragaman ekosistem merupakan keanekaragaman hayati yang paling kompleks. Berbagai keanekaragaman ekosistem yang ada di Indonesia misalnya ekosistem hutan dan pantai, hutan payau (mangrove), hutan tropika basah, terumbu karang, dan beberapa ekosistem pegunungan, perairan darat maupun lautan. Pada setiap ekosistem terdapat berbagai jenis organisme, baik flora maupun fauna, dan mereka memiliki tempat hidup yang unik.

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Istilah konservasi mempunyai definisi pemanfaatan dan pengelolaan alam dan sumber daya alam yang bijaksana bagi kepentingan manusia. Konsep konservasi pada intinya adalah; Melindungi, Memanfaatkan dan Mempelajari.
Kegiatan konservasi mencakup beberapa sektor, yaitu sektor ilmiah, sektor sosial budaya dan sektor pengolahannya. Ketiga sektor ini harus saling melengkapi mengikat satu sama lainnya. Sektor ilmiah melaksanakan kegiatan-kegiatan penelitian-penelitian dan pengamatan yang bersifat ilmiah, artinya kegiatan ini bersifat terbuka, terukur, sistematik nalar dan berkaitan dengan sistematik yang ada. Misalnya penelitian tentang satu jenis folra dan fauna tertentu, baik dari populasi atau habitatnya. Sektor sosial budaya dan ekonomi perlu dipahami, sebab latar belakang masyarakat berpengaruh terhadap perlindungan pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati. Sektor pengolahan adalah bagaimana manusia mengelola sumber daya alam yang ada secara bijaksana.
Dukungan yang mengglobal terhadap konservasi didasarkan karena penghargaan estetika, pengetahuan bahwa produk-produk yang berguna dapat saja berasal dari jenis yang belum dikenali, dan pengertian bahwa lingkungan harus menjadi fungsi biosphere yang tepat, khusunya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia akan udara, air dan tanah, yang mana saat ini mengalami degradasi yang sangat cepat. Akan tetapi usaha-usaha konservasi menjadi rumit dan kompleks dengan adanya kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh setiap orang dimuka bumi ini. Para konservasionis murni akan memilih untuk melakukan pembangunan total pada kehidupan alam, akan tetapi kenyataan politik dan ekonomi memaksa bahwa pendekatan ini tidak dapat dilaksanakan.
Pada kenyataannya, tiga nilai yang terkandung dalam konsep konservasi, yaitu melindungi, memanfaatkan dan mempelajarri masih belum berjalan secara seimbang. Nilai pemanfaatan jauh lebih banyak diterapkan dari pada dua nilai yang lainnya. Inilah yang menjadi akar permasalahan dalam usaha-usaha konservasi dimana saja, terutama dinegara-negara berkembang.
Pentingnya Preservasi Genetik Sumberdaya Alam Hayati
Preservasi genetic merupakan salah satu metode untuk mengawetkan materi genetik satwa maupun tumbuhan. Pengawetan tersebut dilakukan dengan menyimpan materi genetik seperti DNA, kromosom, atau sel sperma dan sel telur dari satwa atau tumbuhan. Pengawetan tersebut berguna sebagai cadangan ketika sewaktu-waktu terjadi kelangkaan jenis satwa atau tumbuhan di alam ataupun kepunahannya, maka preservasi ini dapat digunakan untuk melahirkan individu baru dengan teknologi yang telah dikuasai saat ini. Sumber daya genetik perlu dipelihara dan dilestarikan agar dapat dimanfaatkan pada saat diperlukan. Gen-gen yang pada saat ini belum berguna mungkin pada masa yang akan datang sangat diperlukan sebagai sumber tetua dalam perakitan varietas unggul baru.
            Program pelestarian sumberdaya/materi genetik sebagai komponen keanekaragaman sumberdaya hayati sangat penting dalam upaya pelestarian satwa liar dan tumbuhan pada saat ini maupun di masa yang akan datang. Sebagai negara yang memeliki keanekaragaman plasma nutfah yang tinggi, pelestarian terhadap sumberdaya/materi genetik satwa dan tumbuhan sangat penting untuk mencegah kepunahan.
Pelestarian sumberdaya/materi genetik satwa dan tumbuhan dapat dilakukan dengan cara mempertahankan pupulasi hidup, penyimpanan dalam keadaan beku (cryogenic) terhadap sel gamet maupun penyimpanan asam deoksiribonukleat (DNA). Mempertahankan populasi satwa atau tumbuhan hidup baik secara in-situ maupun ex-situ merupakan metode pelestarian yang banyak dilakukan karena memeliki keunggulan, yaitu satwa dan tumbuhan yang dilestarikan dapat berespon terhadap perubahan pengaruh external dan memungkinkan untuk evaluasi kinerja produksinya. Keunggulan lain dari metode ini adalah satwa dan tumbuhan dapat ditingkatkan mutu genetiknya serta sekaligus dipertahankan keragaman genetiknya. Kelemahannya adalah peluang terjadi perkawinan sekeluarga (inbreeding) sangat tinggi.
Salah satu teknik yang dapat dilakukan untuk melestarikan sumberdaya/materi genetik adalah penyimpanan sel gamet sebagai pembawa materi genetik dengan menggunakan teknik kriopreservasi. Dengan teknik ini sel gamet disimpan dalam keadaan beku. Teknik inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini, yang dapat merusak sel gamet dan upaya penanggulangannya.

Dasar Teoritis dan Metode Kriopreservasi
Secara teoritis, kriopreservasi berasal dari kata krio yang berarti beku, dan preservasi yang berarti penyimpanan pada temperatur rendah. Jadi kriopreservasi adalah teknik penyimpanan materi genetik dalam keadaan beku pada temperatur rendah. Tujuan utama dari teknik ini adalah untuk menyimpan, memelihara, dan menjamin kelangsungan hidup suatu materi genetik. Hal ini berarti bahwa penyimpanan sel gamet (plasma germinal) dengan menggunakan teknik kriopreservasi diharapkan nantinya daya hidupnya dapat dipertahankan yang dicirikan dengan tetap berfungsinya sel gamet baik secara imunologis, biologis dan fisiologis.
Ada dua prinsip penting yang harus diperhatikan apabila menggunakan teknik kriopreservasi, yaitu (1) bila terjadi dehidrasi (pengeluaran air dalam sel) maka akan terjadi kekeringan yang hebat di dalam suatu sel sehingga akan terjadi kerusakan pada sel, dan (2) bila tidak terjadi dehidrasi maka terbentuk kristal-kristal es yang besar yang dapat merusak sel, jaringan ataupun materi genetik ternak lainnya dengan hebat. Dengan demikian perlu diperhatikan proses pemindahan air keluar masuk membran baik dehidrasi sebelum deep freezing maupun rehidrasi setelah thawing (pencarian kembali) (BPTP Sulsel 2011).
Penyimpanan sel gamet dengan teknik kriopreservasi memiliki keuntungan dan kerugian. Adapun keuntungannya adalah dapat disimpan dalam waktu tidak terbatas asalkan media tempat penyimpanan (kontainer) tetap terisi N2 cair, dapat dikoleksi setiap saat, dapat digunakan kapan saja bila dibutuhkan, melestarikan plasma nutfah dan tidak perlu mengimpor atau memelihara satwa atau tumbuhan yang memiliki genetik tunggal. Sedangkan kerugiannya adalah biaya operasional pelaksanaannya sangat mahal, tenaga pelaksana harus memiliki skill yang tinggi, dan hanya sel gamet yang berkualitas baik yang dapat dan layak disimpan dalam keadaan beku (Suprianata dan Pasaribu 1992).
Berdasarkan fenomena fisik, teknik kriopreservasi dibedakan atas dua metode yaitu metode konvensional dan vitrifikasi (Rall dan Fahy 1985; Niemann 1991; Suprianata dan Pasaribu 1992). Pada metode konvensional pembawa materi genetik (sel gamet) disimpan pada suhu dibawah 0oC dan disertai dengan pembentukan kristal-kristal es. Pembentukan kristal-kristal es dimulai pada bagian ekstraseluler. Akibatnya terjadi dehidrasi sehingga menimbulkan kekeringan yang sangat hebat dan disertai dengan kerusakan organel-organel intraseluler seperti mitokondria, lisosom dan sebainya (Rall 1992). Sedangkan teknik vitrifikasi adalah proses fisik berupa pemadatan medium krioprotektan berkonsentrasi tinggi selama pendinginan tanpa disertai pembentukan kristal-kristal es, dimana dalam keadaan padat distribusi ion-ion dan molekul tetap seperti dalam fase cair.
Medium yang digunakan harus memiliki tiga sifat umum, yaitu larutan mengandung krioprotektan intraseluler dengan konsentrasi tinggi, larutan membutuhkan garam-garam fisiologis dan mengandung makromolekul untuk meningkatkan kemampuan larutan untuk mengalami supercooling (Niemann 1991). Teknik ini memiliki kelebihan yaitu sederhana, dapat diandalkan dan relatif mudah diaplikasikan dilapangan karena tidak memerlukan alat khusus. Berikut ini diberikan salah satu contoh penyimpanan sel gamet (dalam hal ini sel spermatozoa) dengan metode konvensional (Gambar 1). Pertama-tama yang harus dilakukan adalah koleksi spermatozoa dari satwa jantan. Ada berbagai cara untuk koleksi spermatozoa, antara lain massase, menggunakan vagina buatan ataupun elektro ejakulator. Segera setelah koleksi, spermatozoa dievaluasi yang meliputi evaluasi secara makroskopik (volume, warna, kekentalan, dan pH) dan secara mikroskopik (gerakan massa, konsentrasi, presentase abnormalitas, presentase hidup, persentase abnormalitas, persentase tudung akrosom utuh dan presentase memran plasma utuh). Persyaratan umum untuk spermatozoa yang akan dibekukan dengan teknik ini adalah minimal persentase motilitas 70%, konsentrasi 2 x 109 sel / ml, gerakan massa ++ / +++, persentase hidup minimal 80% dan persentase abnormal tidak lebih dari 15%. Apabila spermatozoa memenuhi persyaratan, maka langsung dilakukan proses pengenceran. Pengeceran merupakan proses untuk memperbanyak volume spermatozoa serta untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kimia sperma selama proses penyimpanan.
Selanjutnya dilakukan pengemasan dengan menggunakan straw. Ukuran straw bevariasi ada yang 0.25 cc, 0.50 cc dan bahkan ada 1 cc. Kemudian dilakukan ekuilibrasi dengan tujuan agar spermatozoa dapat menyesuaikan diri dengan pengencer, sehingga pada waktu  proses pembekuan kematian spermatozoa yang berlebihan dapat dihindarkan. Proses berikutnya adalah pembekuan yang didahului dengan proses penguapan di atas N2 cair selama 10-15 menit. Lalu disimpan dalam kontainer yang mengandung N2 cair. Proses thawing kapan saja dilakukan bila diperlukan. Yang terpenting adalah spermatozoa yang telah dibekukan minimal memiliki motilitas 40% (standar baku) setelah thawing.

proses penyimpanan
 
Gambar 1. Proses Penyimpanan sel spermatozoa dengan teknik konvensional.

Faktor-Faktor yang Dapat Merusak Pembawa Materi Genetik Selama Penyimpanannya dengan Teknik Kriopreservasi

Selama proses penyimpanan pembawa materi genetik (sel gamet) dengan teknik kriopreservasi terjadi dua fenomena utama yang dapat merusak ataupun menurunkan viabilitas. Adapun kedua fenomena  itu adalah kejutan dingin (cold-shock) dan pembentukan kristal-kristal es. Kejutan dingin terjadi karena adanya penurunan suhu secara mendadak dari suhu tubuh ke suhu dibawah 0oC. Fenomena kejutan dingin pada suatu sel belum diketahui secara pasti, tetapi menurut Watson (1995) bahwa fenomena kejutan dingin berkaitan erat dengan fase pemisahan dan penurunan sifat-sifat permeabilitas secara selektif dan membran bioligik sel hidup.
Pengaruh kejutan dingin terhadap pembawa materi genetik dapat dilihat  pada sel spermatozoa dan sel telur (oosit). Pada sel spermatozoa, kejutan dingin menyebabkan terjadi penurunan motilitas, pelepasan enzim pada akrosom, perpindahan ion melewati membran dan penurunan kandungan lipid (fosfolipid dan kolestrol)  yang mana sangat berperan dalam mempertahankan integritas struktural-membran plasma (Weitze dan Petzoidt, 1992; White, 1993). Sedangkan pengaruhnya terhadap sel telur adalah memran labil, kerusakan pada mikro-tubul dari kumparan miotik mengakibatkan depolimerisasi filamen tubulin dan terurainya kromosom, dan pengeluaran butir-butir korteks mengakibatkan penurunan tingkat fertilasi. Menurut Leibo et al. (1996) bahwa organel oosit yang paling peka terhadap efek kejutan dingin adalah kumparan miotik, mikrotubul dan mikrofilamen sehingga mengakibatkan kriopreservasi oosit sangat rendah tingkat keberhasilannya.
Pembentukan kristal-kristal es berkaitan erat dengan perubahan tekanan osmotik dalam fraksi yang tidak beku (Watson, 2000). Pengaruh pembentukan kristal-kristal es terhadap pembawa materi genetik ternak selama proses kriopreservasi juga dapat dilihat pada sel spermatozoa dan sel telur. Pada sel spermatozoa menyebabkan penurunan motilitas dan viabilitas spermatozoa, peningkatan pengeluaran enzim-enzim intraseluler ke ekstraseluler dan kerusakan pada organel-organel sel, seperti mitokondria dan lisosom (Suprianata dan Pasaribu, 1992; Dhani dan Sahni, 1992). Bila mitokondria rusak, maka rantai oksidasi putus dan mengakibatkan spermatozoa berhenti bergerak karena tidak ada pasokan engeri dari organel mitokondria. Padahal energi yang bersumber dari mitokondria berperan untuk menggertak mikrotubul sehingga terjadi pergesekan diantara mikrotubul dan akibatnya spermatozoa dapat bergerak secara bebas (motil prograsif).
Efek yang ditimbulkan pada sel telur dari pembentukan kristal-kristal es adalah kerusakan ultrastruktur sel telur berupa lisis pada lapisan ganda membran plasma dan batas membran vesikel tidak jelas serta merusak mtriks asam hialuronat dari sel-sel kumulus yang berkembang. Sedangkan bagian organel intraseluler dari sel telur yang mengalami kerusakan adalah butir-butir korteks, mitokondria, golgi dan retikulum endoplasmik halus (Schellerander et al., 1994).

Upaya Meminimalkan Kerusakan Materi Genetik
Pemilihan metode kriopreservasi merupakan salah satu alternatif meminimalkan kerusakan pada pembawa materi genetik ternak selama penyimpanannya. Metode vitrifikasi telah banyak dilakukan pada sel telur dan memberikan hasil yang cukup baik, seperti pada sel telur sapi (Hyttel et al. 2001), kuda (Hochi et al, 1996) dan domba (Djuwita, 2001). Prinsip dari metode ini adalah terjadi peningkatan viskositas larutan dan membutuhkan cooling dan warming rate yang cepat tetapi dalam batas-batas tertentu, ataupun menggunakan medium krioprotektan yang mana akan menekan pembentukan viskositas pada temperatur rendah (Vajta, 2000).
Alternatif lain untuk meminimalkan kerusakan pada pembawa materi genetik ternak selama proses penyimpanan dengan teknik kriopreservasi adalah pemilihan jenis pengecer. Pada sel  spermatozoa, pemilihan jenis pengencer yang sesuai dimaksudkan selain untuk menjamin kebutuhan fisik dan kimia, juga melindungi spermatozoa dari kerusakan akibat proses pendinginan cepat, mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan elektrolit, menghambat pertumbuhan bakteri serta mencegah efek yang membahayakan akibat perubahan pH. Belum ada standar baku pengecer untuk kriopreservasi sel spermatozoa hewan mamalia, namun ada beberapa pengecer dasar yang telah digunakan, antara lain : Pengecer Tris, susu skim, laktosa dan sebagainya.
Fungsi dari krioprotektan adalah untuk meminimalkan terjadinya kerusakan pada pembawa materi genetik ternak selama proses pembekuan, baik berupa efek larutan maupun efek pembentukan kristal-kristal es sehingga viabilitasnya dapat dipertahankan. Pada sel spermatozoa, krioprotektan yang umum digunakan adalah krioprotektan intraseluler (glieserol). Keunggulan gliserol adalah mampu mengikat air yang cukup kuat, difusi ke dalam sel cepat, mampu mengubah kristal-kristal es yang besar dan tajam, dan melenturkan membran sel. Sedangkan pada sel telur, biasa digunakan kombinasi antara krioprotektan intraseluler (etilen glikol) dan ekstraseluler (sukrosa). Hal ini dimaksudkan selain untuk mencegah terjadinya pembentukan kristal-kristal es, juga mencegah terjadinya penggembungan sel melalui penenkanan air masuk ke dalam sel secara berlebih-lebihan.
Pengaturan pendingin dimak-sudkan  untuk mencegah perubahan suhu yang mencolok yang dapat menimbulkan efek kejutan dingin pada sel yang dibekukan. Pengaturan pendinginandipengaruhi oleh empat faktor, yaitu : (1) tipe sel, (2)Rasio permukaan dengan volume, (3) Temperatur dan, (4)  Perbedaan konsentrasi intra dan ekstraseluler. Faktor-faktor ini akan mempengaruhi pasase air melalui membran, yang mana sangat menentukan proses dehidrasi dan rehidrasi. Pengaturan pendinginan yang tidak optimal akan menyebabkan terjadinya solution effect yang pada akhirnya akan menurunkan viabilitas dari materi genetik ternak.

PENUTUP
Penyimpanan pembawa materi genetik ternak dengan teknik kriopreservasi merupakan salah satu alternatif untuk melindungi plasma nutfah nasional dari kepunahan. Untuk menerapkan teknik ini dibutuhkan tenaga yang terampil serta sekaligus membutuhkan biaya operasional yang tinggi. Faktor-faktor yang harus diperhatikan apabila ingin menerapkan teknik kriopreservasi sebagai sarana untuk penyimpanan pembawa materi genetik, yaitu metode kriopreservasi, jenis pengecer, pengguna krioprotektan baik intra maupun ekstraseluler, dan pengaturan pendinginan (cooling rate).

DAFTAR PUSTAKA

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Selatan. 2011. Penyimpanan pembawa materi genetik ternak dengan teknik kriopreservasi. http://sulsel.litbang.deptan.go.id /ind/index.php?option=com_content&view=article&id=175:penyimpanan-pembawa-materi-genetik-ternak-dengan-teknik-kriopreservasi-&catid=44:buletin-volume-i-nomor-i-tahun-2005&Itemid=235
Hochi, S., K. Kimura, K. Ito and M. Hirabayashi . 1996. Effect of nuclear stages during in vitro maturation on the survival of bovine oocytes following vitrification. Theriogenology, 35 : 212 (abst).
Hyttel, P., G. Vajta and H. Callesen, 2000. Vitrification of bovine oocytes with the open pulled straw method : ultrastructural consequences, Mol. Reprod, and Dev., 56., : 80-88.
Leibo, S.P., A. Martino, S. Kobayashi and J.W. Pollard. 1996. Stage-dependent sensitivity of oocytes and embryos to low temperatures. Anim. Repord. Sci., 42:45-53.
NIemann, H. 1991. Cryopreservation of ova and embryos from livestock : current status and research needs. Theriogenelogy, 35 : 109 - 124.
Rall, W.F. 1992. Cryopreservation of oocytes and embryos : methods and application Ani. Repord, Sci., 28 : 237 - 245.
Rall, W. F dan G.M. Fahy, 1985. Vitrification a new approach to embryo cryopreservatio. Theriogenology, 23 : 220 (abst).
Schellander, K., J.Peli, F. Schmoll and G. Brem. 1994. Effect of different cryoprotectans and carbohydrates on freezing of matured and unmatured bovine oocytes. Theriogenology 42 : 909-915.
Suprianata, I. dan F.H. Pasaribu. 1992. In Vitro Fertization, Transfer Embrio dan Pembekuan Embrio. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Vajta, G. 2000. Vitrification of the oocytes and embryos of domestic animals. Anim. Reprod. Sci., 60-61 : 357-364.
Watson, P. F. 1995. Recent developments and concepts in the cryopreservation of spermatozoa and assesment of their post-thawing function. Report. Fertil. Dev., 7 : 871 - 891.
Watson, P.F. 2000. The Causes of reduced fertility with cryopreserved semen. Anim. Reprod. Sci., 60-61 : 481 - 492.

1 comment:

Link Nge_Blog said...

makasih y infonya..,