Google search

Wednesday, December 14, 2011

HUTAN KOTA SEBAGAI CADANGAN KARBON PERKOTAAN

Oleh Gagan Hangga Wijaya
            Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90 % biomassa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan (serasah), hewan, dan jasad renik (Arief 2005). Biomassa ini merupakan tempat penyimpanan karbon dan disebut rosot karbon (carbon sink). Namun, pencemaran lingkungan, pembakaran hutan dan penghancuran lahan-lahan hutan yang luas diberbagai benua di bumi, telah mengganggu proses tersebut. Akibat dari itu, karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan terlepas ke dalam atmosfer dan kemampuan bumi untuk menyerap CO2 dari udara melalui fotosintesis hutan berkurang. Selain akibat tersebut, intensitas Efek Rumah Kaca (ERK) akan ikut naik dan meyebabkan naiknya suhu permukaan bumi. Hal inilah yang memicu tuduhan bahwa kerusakan hutan tropik telah menyebabkan pemanasan global (Soemarwoto 2001).

Hutan kota merupakan kumpulan pepohonan yang mengisi ruang kota yang dipenuhi bangunan dan manusia. Pepohonan yang tumbuh di ruang kota dapat menjadi pelindung kota dari bahaya polusi udara, tanah dan air. Pepohonan dapat menyerap gas rumah kaca melalui mekanisme fotosintesis yaitu menyerap gas CO2 dan H2O untuk diubah menjadi karbohidrat yang kaya energi. Karbohidrat kemudian akan digunakan sebagai penggerak aktivitas tumbuhan dan sisanya digunakan sebagai pembentuk tubuh tumbuhan itu sendiri. Karbohidrat akan diubah menjadi selulosa yaitu suatu polimer yang memiliki rantai yang panjang dan tingkat kekuatan yang tinggi. Selulosa kemudian menyusun seluruh bagian tumbuhan seperti daun, batang, akar, bunga, buah dan lain-lain. Batang tumbuhan disusun oleh selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang semuanya itu berasal dari karbohidrat hasil fotosintesis.
            Fotosintesis memegang peranan penting untuk menyokong kehidupan tumbuhan dan seluruh makhluk hidup di muka bumi ini. Tanpa adanya fotosintesis, tidak ada makhluk hidup yang akan bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama. Fotosintesis mengubah gas berbahaya menjadi cadangan energy yang berguna bagi makhluk hidup. Untuk itu, menanam pohon dapat diartikan sebagai membangun mesin pengubah gas berbahaya menjadi sumber energy potensial.
            Keberadaan hutan kota di kawasan perkotaan memberikan manfaat yang tidak dapat dinilai dengan materi. Manfaat hutan kota yaitu sebagai pelindung kota dari bahaya polusi, menyediakan air bersih, menjaga kesuburan tanah kota, menjaga keseimbangan suhu kota, menjaga kesehatan fisiologis dan psikologis manusia kota, dan lain sebagainya. Bayangkan jika suatu kota tidak memiliki pepohonan, maka kota itu terlihat gersang, hanya dipenuhi oleh bangunan dan logam yang semuanya itu menimbulkan panas. Kota yang sehat adalah kota yang seimbang antara kawasan hijaunya dengan kawasan bangunannya, atau minimal memiliki luasan hutan kota 10% dari luasan kota (Peraturan di Indonesia).
            Hutan kota sangat potensial untuk dijadikan cadangan karbon yang selama ini telah menjadi penyebab polusi kota. Karbon di udara akan menjadi pencemar dan membahayakan kesehatan. Sebaliknya karbon dalam tubuh tumbuhan dalam bentuk karbohidrat dan senyawa turunannya akan menjadi sumber energy yang sangat bermanfaat. Gas karbondioksida di udara jika diubah menjadi karbohidrat berarti mengubah bahan berbahaya menjadi bahan yang bermanfaat. Untuk itu, keberadaan pepohonan akan memberikan manfaat yang sangat besar.
Peranan Hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan kesetimbangan radiasi berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas (Adinugroho et al. 2010).
            Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming). Di antara GRK penting yang diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Dengan kontribusinya yang lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2 yang diemisikan dari aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat perhatian yang lebih besar. Tanpa adanya GRK, atmosfer bumi akan memiliki suhu 30oC lebih dingin dari kondisi saat ini. Namun demikian seperti diuraikan diatas, peningkatan konsentrasi GRK saat ini berada pada laju yang mengkhawatirkan sehingga emisi GRK harus segera dikendalikan. Upaya mengatasi (mitigasi) pemanasan global dapat dilakukan dengan cara mengurangi emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan penyerapan (Adinugroho et al. 2010).
            Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 dimana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan dengan ”net growth” (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak dapat menyerap CO2 berlebih/ekstra (Kyrklund 1990). Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di atmosfer.
            Cadangan karbon dalam hutan kota tersebut dapat berbentuk batang pohon yang berdiri di hutan kota, cabang dan ranting, serasah dan sampah yang tidak dibakar, bunga dan buah yang diawetkan, dan lain sebagainya. Batang kayu menjadi sumber cadangan karbon terbesar. Batang kayu yang tetap dipertahankan dalam bentuk aslinya misalnya diberikan bahan pengawet atau dibuat bahan arsitektur, akan menjadi cadangan karbon yang tidak berbahaya berbeda jika batang kayu tersebut sudah terdekomposisi dan menjadi gas CO2 yang berbahaya. Cabang dan ranting pohon jika tidak terdekomposisi juga akan menjadi cadangan karbon. Begitu pula serasah dan dedaunan tumbuhan, jika terawetkan akan menjadi cadangan karbon. Bunga atau buah tumbuhan yang memiliki nilai keindahan dapat diawetkan sebagai bahan perhiasan yang tanpa kita sadari hal tersebut merupakan langkah kita untuk mencegah proses dekomposisi menjadi gas karbondioksida.
Banyak hal kecil yang sebenarnya dapat kita lakukan untuk menjaga cadangan karbon di bumi kita ini dan semua itu untuk kepentingan kita sendiri dan generasi mendatang. Tanpa adanya cadangan karbon padat, maka semua bentuk karbon akan berupa gas-gas berbahaya seperti CO2, CO, CH4, serta gas-gas lain yang sangat reaktif dan berbahaya. Cadangan karbon dalam bentuk hutan kota menjadi salah satu alternative untuk tetap mempertahankan karbon dalam bentuk padatnya

DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho WC, Syahbani I, Rengku MT, Arifin Z, Mukhaidil. 2010. Pendugaan Cadangan Karbon (C-Stock) dalam Rangka Pemanfaatan Fungsi Hutan Sebagai Penyerap Karbon. http://rsandgistutorial.blogspot.com /2010/03/cara-menghitung-cadangan-karbon-di.html [14 Des 2011].
Arief A. 2005. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Kyrklund B. 1990. The Potential of Forests and Forest Industry in Reducing Excess Atmospheric Carbon Dioxide. Unasylva 163. Vol 41. FAO
Soemarwoto O. 2001. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta.

1 comment:

Anonymous said...

Hutan kota emang banyak manfaatnya bung