Gagan H Wijaya
Ayu W Marharina
Pengertian Keanekaragaman Hayati
Definisi keanekaragaman
hayati adalah: keanekaragaman makhluk hidup dan hal-hal yang berhubungan dengan
ekologinya, dimana makhluk hidup tersebut terdapat. Keanekaragaman hayati
mencakup tiga tingkatan yaitu:
1. Keanekaragaman
genetik, merupakan keanekaragaman yang paling hakiki, karena keanekaragaman ini
dapat berlanjut dan bersifat ditunkan. Keanekaragaman genetik ioni berhubungan
dengan keistimewaan ekologi dan proses evolusi.
2. Keanekareagaman
jenis, meliputi flora dan fauna. Beraneka ragam jenis memiliki perilaku,
strategi hidup, bentuk, rantai makanan, ruang dan juga ketergantungan antara
jenis satu dengan yang lainnya. Adanya keanekaragaman yang tinggi akan
menghasilkan kestabilan lingkungan yang mantap.
3. Keanekaragaman
Ekosistem, tercakup didalamnya genetic, jenis beserta lingkungannya.
Keanekaragaman ekosistem merupakan keanekaragaman hayati yang paling kompleks.
Berbagai keanekaragaman ekosistem yang ada di Indonesia misalnya ekosistem
hutan dan pantai, hutan payau (mangrove), hutan tropika basah, terumbu karang,
dan beberapa ekosistem pegunungan, perairan darat maupun lautan. Pada setiap
ekosistem terdapat berbagai jenis organisme, baik flora maupun fauna, dan
mereka memiliki tempat hidup yang unik.
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Istilah konservasi
mempunyai definisi pemanfaatan dan pengelolaan alam dan sumber daya alam yang
bijaksana bagi kepentingan manusia. Konsep konservasi pada intinya adalah;
Melindungi, Memanfaatkan dan Mempelajari.
Kegiatan konservasi
mencakup beberapa sektor, yaitu sektor ilmiah, sektor sosial budaya dan sektor
pengolahannya. Ketiga sektor ini harus saling melengkapi mengikat satu sama
lainnya. Sektor ilmiah melaksanakan kegiatan-kegiatan penelitian-penelitian dan
pengamatan yang bersifat ilmiah, artinya kegiatan ini bersifat terbuka,
terukur, sistematik nalar dan berkaitan dengan sistematik yang ada. Misalnya penelitian
tentang satu jenis folra dan fauna tertentu, baik dari populasi atau
habitatnya. Sektor sosial budaya dan ekonomi perlu dipahami, sebab latar
belakang masyarakat berpengaruh terhadap perlindungan pelestarian dan
pemanfaatan sumberdaya alam hayati. Sektor pengolahan adalah bagaimana manusia
mengelola sumber daya alam yang ada secara bijaksana.
Dukungan yang mengglobal
terhadap konservasi didasarkan karena penghargaan estetika, pengetahuan bahwa
produk-produk yang berguna dapat saja berasal dari jenis yang belum dikenali,
dan pengertian bahwa lingkungan harus menjadi fungsi biosphere yang tepat,
khusunya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia akan udara, air dan tanah,
yang mana saat ini mengalami degradasi yang sangat cepat. Akan tetapi usaha-usaha
konservasi menjadi rumit dan kompleks dengan adanya kesulitan ekonomi yang
dihadapi oleh setiap orang dimuka bumi ini. Para konservasionis murni akan
memilih untuk melakukan pembangunan total pada kehidupan alam, akan tetapi
kenyataan politik dan ekonomi memaksa bahwa pendekatan ini tidak dapat
dilaksanakan.
Pada kenyataannya, tiga
nilai yang terkandung dalam konsep konservasi, yaitu melindungi, memanfaatkan
dan mempelajarri masih belum berjalan secara seimbang. Nilai pemanfaatan jauh
lebih banyak diterapkan dari pada dua nilai yang lainnya. Inilah yang menjadi
akar permasalahan dalam usaha-usaha konservasi dimana saja, terutama
dinegara-negara berkembang.
Pentingnya Preservasi Genetik Sumberdaya Alam
Hayati
Preservasi genetic
merupakan salah satu metode untuk mengawetkan materi genetik satwa maupun
tumbuhan. Pengawetan tersebut dilakukan dengan menyimpan materi genetik seperti
DNA, kromosom, atau sel sperma dan sel telur dari satwa atau tumbuhan.
Pengawetan tersebut berguna sebagai cadangan ketika sewaktu-waktu terjadi
kelangkaan jenis satwa atau tumbuhan di alam ataupun kepunahannya, maka
preservasi ini dapat digunakan untuk melahirkan individu baru dengan teknologi
yang telah dikuasai saat ini. Sumber daya genetik perlu dipelihara dan
dilestarikan agar dapat dimanfaatkan pada saat diperlukan. Gen-gen yang pada
saat ini belum berguna mungkin pada masa yang akan datang sangat diperlukan
sebagai sumber tetua dalam perakitan varietas unggul baru.
Program pelestarian sumberdaya/materi genetik sebagai
komponen keanekaragaman sumberdaya hayati sangat penting dalam upaya pelestarian
satwa liar dan tumbuhan pada saat ini maupun di masa yang akan datang. Sebagai
negara yang memeliki keanekaragaman plasma nutfah yang tinggi, pelestarian
terhadap sumberdaya/materi genetik satwa dan tumbuhan sangat penting untuk mencegah
kepunahan.
Pelestarian
sumberdaya/materi genetik satwa dan tumbuhan dapat dilakukan dengan cara
mempertahankan pupulasi hidup, penyimpanan dalam keadaan beku (cryogenic)
terhadap sel gamet maupun penyimpanan asam deoksiribonukleat (DNA).
Mempertahankan populasi satwa atau tumbuhan hidup baik secara in-situ maupun
ex-situ merupakan metode pelestarian yang banyak dilakukan karena memeliki
keunggulan, yaitu satwa dan tumbuhan yang dilestarikan dapat berespon terhadap
perubahan pengaruh external dan memungkinkan untuk evaluasi kinerja
produksinya. Keunggulan lain dari metode ini adalah satwa dan tumbuhan dapat
ditingkatkan mutu genetiknya serta sekaligus dipertahankan keragaman
genetiknya. Kelemahannya adalah peluang terjadi perkawinan sekeluarga
(inbreeding) sangat tinggi.
Salah satu teknik yang
dapat dilakukan untuk melestarikan sumberdaya/materi genetik adalah penyimpanan
sel gamet sebagai pembawa materi genetik dengan menggunakan teknik
kriopreservasi. Dengan teknik ini sel gamet disimpan dalam keadaan beku. Teknik
inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini, yang dapat merusak sel gamet dan
upaya penanggulangannya.
Dasar Teoritis dan Metode Kriopreservasi
Secara teoritis,
kriopreservasi berasal dari kata krio yang berarti beku, dan preservasi yang
berarti penyimpanan pada temperatur rendah. Jadi kriopreservasi adalah teknik
penyimpanan materi genetik dalam keadaan beku pada temperatur rendah. Tujuan
utama dari teknik ini adalah untuk menyimpan, memelihara, dan menjamin
kelangsungan hidup suatu materi genetik. Hal ini berarti bahwa penyimpanan sel
gamet (plasma germinal) dengan menggunakan teknik kriopreservasi diharapkan
nantinya daya hidupnya dapat dipertahankan yang dicirikan dengan tetap
berfungsinya sel gamet baik secara imunologis, biologis dan fisiologis.
Ada dua prinsip penting
yang harus diperhatikan apabila menggunakan teknik kriopreservasi, yaitu (1)
bila terjadi dehidrasi (pengeluaran air dalam sel) maka akan terjadi kekeringan
yang hebat di dalam suatu sel sehingga akan terjadi kerusakan pada sel, dan (2)
bila tidak terjadi dehidrasi maka terbentuk kristal-kristal es yang besar yang
dapat merusak sel, jaringan ataupun materi genetik ternak lainnya dengan hebat.
Dengan demikian perlu diperhatikan proses pemindahan air keluar masuk membran
baik dehidrasi sebelum deep freezing maupun rehidrasi setelah thawing
(pencarian kembali) (BPTP Sulsel 2011).
Penyimpanan sel gamet
dengan teknik kriopreservasi memiliki keuntungan dan kerugian. Adapun
keuntungannya adalah dapat disimpan dalam waktu tidak terbatas asalkan media
tempat penyimpanan (kontainer) tetap terisi N2 cair, dapat dikoleksi
setiap saat, dapat digunakan kapan saja bila dibutuhkan, melestarikan plasma
nutfah dan tidak perlu mengimpor atau memelihara satwa atau tumbuhan yang
memiliki genetik tunggal. Sedangkan kerugiannya adalah biaya operasional
pelaksanaannya sangat mahal, tenaga pelaksana harus memiliki skill yang tinggi,
dan hanya sel gamet yang berkualitas baik yang dapat dan layak disimpan dalam
keadaan beku (Suprianata dan Pasaribu 1992).
Berdasarkan fenomena
fisik, teknik kriopreservasi dibedakan atas dua metode yaitu metode
konvensional dan vitrifikasi (Rall dan Fahy 1985; Niemann 1991; Suprianata dan
Pasaribu 1992). Pada metode konvensional pembawa materi genetik (sel gamet)
disimpan pada suhu dibawah 0oC dan disertai dengan pembentukan
kristal-kristal es. Pembentukan kristal-kristal es dimulai pada bagian
ekstraseluler. Akibatnya terjadi dehidrasi sehingga menimbulkan kekeringan yang
sangat hebat dan disertai dengan kerusakan organel-organel intraseluler seperti
mitokondria, lisosom dan sebainya (Rall 1992). Sedangkan teknik vitrifikasi
adalah proses fisik berupa pemadatan medium krioprotektan berkonsentrasi tinggi
selama pendinginan tanpa disertai pembentukan kristal-kristal es, dimana dalam
keadaan padat distribusi ion-ion dan molekul tetap seperti dalam fase cair.
Medium yang digunakan
harus memiliki tiga sifat umum, yaitu larutan mengandung krioprotektan
intraseluler dengan konsentrasi tinggi, larutan membutuhkan garam-garam
fisiologis dan mengandung makromolekul untuk meningkatkan kemampuan larutan
untuk mengalami supercooling (Niemann 1991). Teknik ini memiliki kelebihan
yaitu sederhana, dapat diandalkan dan relatif mudah diaplikasikan dilapangan
karena tidak memerlukan alat khusus. Berikut ini diberikan salah satu contoh
penyimpanan sel gamet (dalam hal ini sel spermatozoa) dengan metode
konvensional (Gambar 1). Pertama-tama yang harus dilakukan adalah koleksi
spermatozoa dari satwa jantan. Ada berbagai cara untuk koleksi spermatozoa,
antara lain massase, menggunakan vagina buatan ataupun elektro ejakulator.
Segera setelah koleksi, spermatozoa dievaluasi yang meliputi evaluasi secara makroskopik
(volume, warna, kekentalan, dan pH) dan secara mikroskopik (gerakan massa,
konsentrasi, presentase abnormalitas, presentase hidup, persentase
abnormalitas, persentase tudung akrosom utuh dan presentase memran plasma
utuh). Persyaratan umum untuk spermatozoa yang akan dibekukan dengan teknik ini
adalah minimal persentase motilitas 70%, konsentrasi 2 x 109 sel / ml, gerakan
massa ++ / +++, persentase hidup minimal 80% dan persentase abnormal tidak
lebih dari 15%. Apabila spermatozoa memenuhi persyaratan, maka langsung
dilakukan proses pengenceran. Pengeceran merupakan proses untuk memperbanyak
volume spermatozoa serta untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kimia sperma selama
proses penyimpanan.
Selanjutnya dilakukan
pengemasan dengan menggunakan straw. Ukuran straw bevariasi ada yang 0.25 cc,
0.50 cc dan bahkan ada 1 cc. Kemudian dilakukan ekuilibrasi dengan tujuan agar
spermatozoa dapat menyesuaikan diri dengan pengencer, sehingga pada waktu proses pembekuan kematian spermatozoa yang
berlebihan dapat dihindarkan. Proses berikutnya adalah pembekuan yang didahului
dengan proses penguapan di atas N2 cair selama 10-15 menit. Lalu disimpan dalam
kontainer yang mengandung N2 cair. Proses thawing kapan saja dilakukan bila
diperlukan. Yang terpenting adalah spermatozoa yang telah dibekukan minimal
memiliki motilitas 40% (standar baku) setelah thawing.
proses penyimpanan
Gambar 1. Proses
Penyimpanan sel spermatozoa dengan teknik konvensional.
Faktor-Faktor yang Dapat Merusak Pembawa Materi
Genetik Selama Penyimpanannya dengan Teknik Kriopreservasi
Selama proses
penyimpanan pembawa materi genetik (sel gamet) dengan teknik kriopreservasi
terjadi dua fenomena utama yang dapat merusak ataupun menurunkan viabilitas.
Adapun kedua fenomena itu adalah kejutan
dingin (cold-shock) dan pembentukan kristal-kristal es. Kejutan dingin terjadi
karena adanya penurunan suhu secara mendadak dari suhu tubuh ke suhu dibawah 0oC.
Fenomena kejutan dingin pada suatu sel belum diketahui secara pasti, tetapi
menurut Watson (1995) bahwa fenomena kejutan dingin berkaitan erat dengan fase
pemisahan dan penurunan sifat-sifat permeabilitas secara selektif dan membran
bioligik sel hidup.
Pengaruh kejutan dingin
terhadap pembawa materi genetik dapat dilihat
pada sel spermatozoa dan sel telur (oosit). Pada sel spermatozoa,
kejutan dingin menyebabkan terjadi penurunan motilitas, pelepasan enzim pada
akrosom, perpindahan ion melewati membran dan penurunan kandungan lipid
(fosfolipid dan kolestrol) yang mana
sangat berperan dalam mempertahankan integritas struktural-membran plasma
(Weitze dan Petzoidt, 1992; White, 1993). Sedangkan pengaruhnya terhadap sel
telur adalah memran labil, kerusakan pada mikro-tubul dari kumparan miotik
mengakibatkan depolimerisasi filamen tubulin dan terurainya kromosom, dan
pengeluaran butir-butir korteks mengakibatkan penurunan tingkat fertilasi.
Menurut Leibo et al. (1996) bahwa organel oosit yang paling peka terhadap efek
kejutan dingin adalah kumparan miotik, mikrotubul dan mikrofilamen sehingga
mengakibatkan kriopreservasi oosit sangat rendah tingkat keberhasilannya.
Pembentukan
kristal-kristal es berkaitan erat dengan perubahan tekanan osmotik dalam fraksi
yang tidak beku (Watson, 2000). Pengaruh pembentukan kristal-kristal es
terhadap pembawa materi genetik ternak selama proses kriopreservasi juga dapat
dilihat pada sel spermatozoa dan sel telur. Pada sel spermatozoa menyebabkan
penurunan motilitas dan viabilitas spermatozoa, peningkatan pengeluaran
enzim-enzim intraseluler ke ekstraseluler dan kerusakan pada organel-organel
sel, seperti mitokondria dan lisosom (Suprianata dan Pasaribu, 1992; Dhani dan
Sahni, 1992). Bila mitokondria rusak, maka rantai oksidasi putus dan
mengakibatkan spermatozoa berhenti bergerak karena tidak ada pasokan engeri
dari organel mitokondria. Padahal energi yang bersumber dari mitokondria
berperan untuk menggertak mikrotubul sehingga terjadi pergesekan diantara
mikrotubul dan akibatnya spermatozoa dapat bergerak secara bebas (motil
prograsif).
Efek yang ditimbulkan
pada sel telur dari pembentukan kristal-kristal es adalah kerusakan
ultrastruktur sel telur berupa lisis pada lapisan ganda membran plasma dan
batas membran vesikel tidak jelas serta merusak mtriks asam hialuronat dari
sel-sel kumulus yang berkembang. Sedangkan bagian organel intraseluler dari sel
telur yang mengalami kerusakan adalah butir-butir korteks, mitokondria, golgi
dan retikulum endoplasmik halus (Schellerander et al., 1994).
Upaya Meminimalkan Kerusakan Materi Genetik
Pemilihan metode
kriopreservasi merupakan salah satu alternatif meminimalkan kerusakan pada
pembawa materi genetik ternak selama penyimpanannya. Metode vitrifikasi telah
banyak dilakukan pada sel telur dan memberikan hasil yang cukup baik, seperti
pada sel telur sapi (Hyttel et al. 2001), kuda (Hochi et al, 1996) dan domba
(Djuwita, 2001). Prinsip dari metode ini adalah terjadi peningkatan viskositas
larutan dan membutuhkan cooling dan warming rate yang cepat tetapi dalam
batas-batas tertentu, ataupun menggunakan medium krioprotektan yang mana akan menekan
pembentukan viskositas pada temperatur rendah (Vajta, 2000).
Alternatif lain untuk
meminimalkan kerusakan pada pembawa materi genetik ternak selama proses
penyimpanan dengan teknik kriopreservasi adalah pemilihan jenis pengecer. Pada
sel spermatozoa, pemilihan jenis pengencer
yang sesuai dimaksudkan selain untuk menjamin kebutuhan fisik dan kimia, juga
melindungi spermatozoa dari kerusakan akibat proses pendinginan cepat,
mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan elektrolit, menghambat pertumbuhan
bakteri serta mencegah efek yang membahayakan akibat perubahan pH. Belum ada
standar baku pengecer untuk kriopreservasi sel spermatozoa hewan mamalia, namun
ada beberapa pengecer dasar yang telah digunakan, antara lain : Pengecer Tris,
susu skim, laktosa dan sebagainya.
Fungsi dari
krioprotektan adalah untuk meminimalkan terjadinya kerusakan pada pembawa
materi genetik ternak selama proses pembekuan, baik berupa efek larutan maupun
efek pembentukan kristal-kristal es sehingga viabilitasnya dapat dipertahankan.
Pada sel spermatozoa, krioprotektan yang umum digunakan adalah krioprotektan
intraseluler (glieserol). Keunggulan gliserol adalah mampu mengikat air yang
cukup kuat, difusi ke dalam sel cepat, mampu mengubah kristal-kristal es yang
besar dan tajam, dan melenturkan membran sel. Sedangkan pada sel telur, biasa
digunakan kombinasi antara krioprotektan intraseluler (etilen glikol) dan
ekstraseluler (sukrosa). Hal ini dimaksudkan selain untuk mencegah terjadinya
pembentukan kristal-kristal es, juga mencegah terjadinya penggembungan sel
melalui penenkanan air masuk ke dalam sel secara berlebih-lebihan.
Pengaturan pendingin
dimak-sudkan untuk mencegah perubahan
suhu yang mencolok yang dapat menimbulkan efek kejutan dingin pada sel yang
dibekukan. Pengaturan pendinginandipengaruhi oleh empat faktor, yaitu : (1)
tipe sel, (2)Rasio permukaan dengan volume, (3) Temperatur dan, (4) Perbedaan konsentrasi intra dan
ekstraseluler. Faktor-faktor ini akan mempengaruhi pasase air melalui membran,
yang mana sangat menentukan proses dehidrasi dan rehidrasi. Pengaturan
pendinginan yang tidak optimal akan menyebabkan terjadinya solution effect yang
pada akhirnya akan menurunkan viabilitas dari materi genetik ternak.
PENUTUP
Penyimpanan pembawa
materi genetik ternak dengan teknik kriopreservasi merupakan salah satu
alternatif untuk melindungi plasma nutfah nasional dari kepunahan. Untuk
menerapkan teknik ini dibutuhkan tenaga yang terampil serta sekaligus
membutuhkan biaya operasional yang tinggi. Faktor-faktor yang harus
diperhatikan apabila ingin menerapkan teknik kriopreservasi sebagai sarana
untuk penyimpanan pembawa materi genetik, yaitu metode kriopreservasi, jenis
pengecer, pengguna krioprotektan baik intra maupun ekstraseluler, dan
pengaturan pendinginan (cooling rate).
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi
Selatan. 2011. Penyimpanan pembawa materi genetik ternak dengan teknik
kriopreservasi. http://sulsel.litbang.deptan.go.id
/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=175:penyimpanan-pembawa-materi-genetik-ternak-dengan-teknik-kriopreservasi-&catid=44:buletin-volume-i-nomor-i-tahun-2005&Itemid=235
Hochi, S., K. Kimura, K. Ito and M. Hirabayashi . 1996.
Effect of nuclear stages during in vitro maturation on the survival of bovine
oocytes following vitrification. Theriogenology, 35 : 212 (abst).
Hyttel, P., G. Vajta and H. Callesen, 2000. Vitrification
of bovine oocytes with the open pulled straw method : ultrastructural
consequences, Mol. Reprod, and Dev., 56., : 80-88.
Leibo, S.P., A. Martino, S. Kobayashi and J.W. Pollard.
1996. Stage-dependent sensitivity of oocytes and embryos to low temperatures.
Anim. Repord. Sci., 42:45-53.
NIemann, H. 1991. Cryopreservation of ova and embryos
from livestock : current status and research needs. Theriogenelogy, 35 : 109 -
124.
Rall, W.F. 1992. Cryopreservation of oocytes and embryos
: methods and application Ani. Repord, Sci., 28 : 237 - 245.
Rall, W. F dan G.M. Fahy, 1985. Vitrification a new
approach to embryo cryopreservatio. Theriogenology, 23 : 220 (abst).
Schellander, K., J.Peli, F. Schmoll and G. Brem. 1994.
Effect of different cryoprotectans and carbohydrates on freezing of matured and
unmatured bovine oocytes. Theriogenology 42 : 909-915.
Suprianata, I. dan F.H. Pasaribu. 1992. In Vitro
Fertization, Transfer Embrio dan Pembekuan Embrio. Pusat Antar Universitas,
Institut Pertanian Bogor.
Vajta, G. 2000. Vitrification of the oocytes and embryos
of domestic animals. Anim. Reprod. Sci., 60-61 : 357-364.
Watson, P. F. 1995. Recent developments and concepts in
the cryopreservation of spermatozoa and assesment of their post-thawing
function. Report. Fertil. Dev., 7 : 871 - 891.
Watson, P.F. 2000. The Causes of reduced fertility with
cryopreserved semen. Anim. Reprod. Sci., 60-61 : 481 - 492.
1 comment:
makasih y infonya..,
Post a Comment